Penyediaan Transportasi Massal Solusi Hadapi Urbanisasi

JAKARTA: Urbanisasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah tumbuh pesat. Pada 2025, diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan. Hal ini membuat permasalahan mobilitas perkotaan menjadi semakin kompleks dan dibutuhkan strategi pengendalian pengedalian yang lebih baik.
Di wilayah perkotaan dengan penduduk di atas 500.000 jiwa, penyediaan angkutan massal merupakan sebuah kewajiban. Sedangkan untuk wilayah perkotaan dengan penduduk di bawah 500.000 jiwa, kebutuhan infrastruktur dilakukan dengan mempertahankan low cost traffic management dengan mensinergikan peran angkutan umum dan kualitas aksesibilitas penduduk. “Peran infrastruktur di kedua jenis wilayah perkotaan tersebut hendaknya dilihat terhadap dua hal, yaitu pertumbuhan ekonomi perkotaan dan kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana saat Lokakarya Transportasi Perkotaan, di Jakarta, kemarin.
Sejauh ini, pemerintah telah mengoperasikan 1.100 bus BRT (Bus Rapid Transit) yang tersebar di 15 kota, meliputi Batam, Palembang, Pekanbaru, Lampung, Jakarta, Tangerang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Manado, Gorontalo, Denpasar dan Ambon. Keberadaan BRT tersebut telah mampu menampung mobilitas penduduk perkotaan sekitar 0,6 juta orang setiap hari di seluruh Indonesia.
Khusus di wilayah Jabotabek dan beberapa kota lain, telah dioperasikan sistem jalan rel perkotaan yang mendukung mobilitas penumpang, serta telah dilakukan integrasi dengan sistem tiket elektronik (e-ticketing) di 5 kota, mencakup Kota Palembang, Pekanbaru, Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta.
Meski begitu, masih ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan pendalaman terkait manajemen mobilitas perkotaan di Indonesia. Menurut Armida, paling tidak ada lima hal yang perlu mendapat perhatian, yakni strategi interaksi transportasi dan tata guna lahan; strategi perbaikan mobilitas perkotaan; strategi pengurangan kemacetan perkotaan; strategi pengurangan polusi udara kota; dan strategi peningkatan keselamatan.
“Pada 2014, Pemerintah telah menganggarkan pendanaan sebesar Rp. 700 miliar untuk pembangunan tahap-I jalan kereta api lingkar layang (elevated loopline) di Jakarta dan Rp. 382 miliar untuk sektor transportasi publik perkotaan. Hal ini dimaksudkan sebagai stimulus untuk penambahan angkutan massal (sistem transit) di enam kawasan metropolitan,” kata Armida.
Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang saat ini sedang digodok Bappenas, isu transportasi perkotaan ini juga mendapat perhatian khusus. Perhatian terhadap transportasi perkotaan mencakup 5 isu strategis. Pertama, tingginya konsumsi bahan bakar. Kedua, tingginya emisi gas buang. Ketiga, rendahnya pelayanan angkutan umum. Keempat, kurangnya fasilitas bagi pejalan kaki. Kelima, kesenjangan sosial.
Melalui lokakarya ini, bagi kota-kota aglomerasi disarankan untuk mengacu dan belajar dari pengalaman kota-kota yang sistem transportasinya sudah lebih maju. Berikut beberapa arahan untuk masing-masing kota di bawah ini:
1.Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek): angkutan massal berbasis rel berupa KA Komuter Jabodetabek, KA Bandara, monorail, dan MRT Jakarta didukung dengan sistem BRT, termasuk elevated busway. Pembatasan lalu-lintas kendaraan pribadi dengan penerapan ERP dan parking management serta perbaikan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda.
2.Bandung Raya: angkutan massal berbasis jalan dioptimalkan dengan lajur khusus dan peningkatan frekuensi BRT dan elektrifikasi serta pembangunan jalur ganda kereta api Padalarang-Cicalengka. Penataan fasilitas pejalan kaki termasuk konektivitas antar pusat kegiatan.
3.Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo (Mebidangro) di Sumatera Utara: Angkutan massal BRT dan didukung dengan angkutan KA yang terintegrasi dengan bandara dan pelabuhan laut sebagai konektivitas MP3EI. Penataan kawasan berbasis TIC (Transportation Impact Control) untuk mengendalikan transportasi akibat pembangunan kawasan yang diperkirakan akan berlangsung sangat cepat.
4.Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan (GerbangKertosusila) di Jawa Timur: Angkutan massal berbasis rel terpadu dengan BRT, dengan target awal membangun sistem BRT pada koridor yang layak secara finansial. Didukung dengan penataan fasilitas pejalan kaki serta pembatasan perjalanan kendaraan pribadi dengan parking management.
5.Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar (Mamminasata) di Sulawesi Selatan: Angkutan massal BRT sebagai langkah awal sebelum diintegrasikan dengan angkutan berbasis rel (Monorel). Penataan angkutan umum di terminal yang terintegrasi dengan angkutan perdesaan.
Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita) di Bali: Peningkatan fungsi BRT dengan meningkatkan kinerja BRT yang ada termasuk dukungan bagi program turisme. Penataan kawasan yang ramah lingkungan untuk mendukung perjalanan jarak pendek/menengah bagi aksesibilitas angkutan umum.
Jakarta, 20 November 2013

Sumber : http://bappenas.go.id/berita-dan-siaran-pers/penyediaan-transportasi-massal-solusi-hadapi-urbanisasi/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *